Rabu, 09 Januari 2013

Risalah Keakuan: Jejak Puisi Punai Merindu


Jika kesukaan saya pada puisi dipertanyakan, darimana ia bermula(i)? Tentu banyak hal yang mempengaruhinya. Seingat saya, kegiatan menulis puisi yang saya jalani saat ini tidak terlepas dari rekam jejak masa lalu, jejak puisi saya telah dimulai sejak sedari Sekolah Dasar. Tentu masa itu puisi yang saya buat masih berupa syair pantun yang sering saya nyanyikan bersama teman-teman saat bermain di aliran sungai Tabir masa kanak-kanak dahulu, kadang juga syair pantun sering kami senandungkan di saat jam istirahat di atas pohon-pohon yang kami panjat di sekitar sekolah. Kebetulan sekolah saya dulu berada bersebelahan dengan semak-semak dan pohon-pohon liar, jadilah di situ menjadi tempat kami biasa bermain dan bersenandung.

Masa kanak-kanak yang begitu dekat dengan pantun-pantun kemudian sedikit banyak ikut mempengaruhi karya-karya puisi saya. Begitu pula halnya kedekatan saya pada alam sekitar waktu itu, tentang pohon-pohon karet, sungai, orang-orang yang menanam padi di tanah ladang, burung-burung, daun-daun dan tentang kebiasaan adat di kampung saya seperti berseloko dan mendendangkan kesenian piyul. Kecirian inilah yang saya pikir sangat melekat yang kemudian secara tidak sengaja terangkat dalam setiap peroses penciptaan karya puisi-puisi saya hingga saat ini.

Selanjutnya, ditunjuknya saya sebagai pengelola Majalah Dinding semasa SMA dulu merupakan bagian dari proses perjalanan puisi saya yang lain. Waktu itu seringkali puisi-puisi saya terpajang di majalah dinding tersebut. Yang  saya ingat puisi-puisi saya pada masa itu masih berkecenderungan mementingkan bunyi (rima). Hingga selanjutnya, penelusuran saya pada rerimba puisi terus berlanjut hingga berada dibangku kuliah, disitulah saya mulai mengenal beberapa nama seperti Dimas Arika Miharja, Asro al Murthawy, Ary Setya Ardhi, Yupnical Saketi dan yang lain-lain, dan saat itu pula lah saya mengenal media dalam publikasi puisi. Kegilaan saya pada puisi semakin menjadi ketika memenangkan beberapa iven Lomba Cipta Puisi, yang kemudian menuntun saya mulai berproses dalam penciptaan puisi-puisi bercita-rasa melayu. Inilah puisi pertama bercorak melayu yang saya buat, terbit di Harian lokal Jambi tahun 2003 dan tercantum dalam antologi “Menguak Senyap” 2012, dengan judul “Batanghari”:

mengeja setiap lirikmu
lewat bibir-bibir rumah panggung
ada lagu duka yang terselip
di antara ribuan puisi yang kau aliri

itulah lagu yang sering kau dendangkan untukku
semenjak awalmula aku menancapkan
sisa umur di tanah pilih ini
hingga kita sama-sama menangis

Jambi, Mei 2003

Mungkin jika dirunut lebih jauh, bakat puisi yang saya miliki menurun dari garis orangtua. Meski tidak bekecimpung langsung, Orangtua saya dulu begitu dekat dengan dunia seloko dan pantun. Selain sebagai tetua kampung, Bapak saya juga sebagai seorang pemain gambus grup kesenian piyul di kampung saya-seperti diketahui musik piyul adalah musik yang mengiringi lagu-lagu tradisi di pedalaman Jambi, di huluan sungai Batanghari-yang pada umumnya syairnya berupa pantun berbalas. Kehidupan yang begitu dekat dengan dunia seloko dan pantun inilah yang sangat berkesan dan mendalam sehingga mempengaruhi gairah dan konstruksi puisi saya. Saya seperti pemegang estafet tanggungjawab bagi warisan tradisi moyang saya tersebut, tentu dengan format yang lain, yaitu puisi. Tema-tema alam dalam puisi saya adalah bagian dari masa kecil yang sempat terekam oleh jejak waktu.

Punai Merindu

Inilah tokoh yang coba saya bangunsebutkan dalam puisi-puisi saya di awal tahun ini. Punai Merindu, adalah sejenis burung yang biasa hinggap di pucuk-pucuk pohon karet, kadang kerap pula bertengger di ranting-ranting pohon durian di kampungku. Lantas, mengapa mesti Punai? Punai tidak lebih dari pencirian melayu dalam puisi-puisi yang saya buat. Ia bisa menjadi aku, dia, mereka, kekasih, dan bisa jadi punai itu sendiri. Tidak ada makna tunggal pada penokohan “Punai Merindu” dalam puisi-puisiku. Coba perhatikan beberapa puisi yang saya buat di rentang awal tahun ini, salah satunya puisi berjudul “Lelaki Sungai” berikut yang disajikan secara utuh:

kuyup hujan kian menyemak di awal januari
meluapkan kekisah lelaki sungai di ujung tanjung
daun-daun melembab sepi
bertutur tentang punai yang kian merindu
musim belum jua berganti
lelaki sungai masih saja menganyam rakit dari bilah-bilah bambu
entah, ke tepian mana akan dipaut

Tabir Ulu, 02 Januari 2013

dan penggalan puisi berjudul “Generasi Lupa Hikayat” berikut ini:

debur batanghari menggelegar, pecah diamuk airmata
remuk serupa cecandi yang kita jenguk di menapo tua siang itu
hikayat pun karam di lubuk paling dalam, di sepanjang reriak jaman
lihatlah, pohonan liar yang dulu rimbun kini meranting sepi
tanpa kekicau punai di ujung daun, tunaspun layu di awal musim
meranggas bersama pepantun purba di ujung senja

kemudian baca juga penggalan puisi berjudul “Akulah Sang punai” di bawah ini:

di antara bebunga januari, akulah sang punai
melesap diantara kecupan angin yang menggigilkan gerimis
dan kau adalah bebayang yang tersanggat di ujung kenang
menjejak di urat-urat nadi batanghari

            Dari beberapa contoh puisi di atas, penokohan punai tidaklah mempunyai makna tunggal. Punai dalam puisi-puisi saya hanyalah sebagai cara saya untuk memperkenalkan gaya berpuisi dengan corak dan konstruksi kemelayuan yang melatarbelakangi jejak-jejak kehidupan dan persinggungan saya dengan kemelayuan itu sendiri. Maka, akulah sang punai itu, mencoba terbang dengan sayap-sayap rindu, kadang hinggap di ranting sepi, sambil meramu bait-bait puisi. Semoga puisi-puisi saya ikut mewarnai khasanah perpuisian sejagat negeri. Wassalam*

Tabir Ulu, 09 Januari 2013

Tidak ada komentar: