Rabu, 01 Mei 2013

Puisi Hadiah Awal Tahun 2013 dari Penyair Bertopeng (Yupnical Saketi)


O Sauk Seloko
: Adi Suhara 

cecanggah hari tumbuh, 2013 jumlahnya. helai uban lah menghitungnya
di selenting ranting kau seekor punai menyanyikan krinok huluan
kabarkan derai dari debar kekisah lama nan tak lagi tersauk
duh puti, langu mengapung di riak bulan purnama nan meruapkan pasang
catatan-catatan pesan itu tak jua merimbun
“lelangkah kini lah hilang arah, rangorang beringatan dangkal punya
sejarah sesingkat jengkal” kicaumu di siang nan kepayang litak
O sauklah, celup tangguk dan tangkul itu pada riak sungai rembulan
di musim pasang, bukan kebetulan dia naik ke jenjang
membawa kenangan
di bawahnya ada batang terendam dililit akar kiambang
--kata orang itulah seloko?—
percayalah bebuih tak lah kan menghalang, ia kan pecah sendiri
disayat mata waktu berlamur langu mu sayang
dan aku kan membayangkan kau bermandi tuah di lubuk rindu
“engkau selalu datang sebagai punai, sedang mataku renyai, luka jatuh ke dalam,” reranting
berderak halus, suaranya nyaris tak terdengar angin
ketika rangorang beranjak memikul tangkul, bubu, jala, tangguk
dan pancing
menuju petang yang semakin bergemerincing
ada yang berseruling ketika kekabut mengancing matahari O
“inilah lanskap tentang hilir hari ini” teriaknya silu
ketika kalender menguap hanyutkan tanggalan, musim-musim hampa
tenggelamkan tahun yang tak lagi sempat menunaskan bebunga
di laman mendadak petang, punai mengajak terbang
tuju huluan, gegunung tempat alif tegak terpancang
serupa mercusuar menujahkan cahaya ke mata langit
duhai, di situlah rerumah pawana bagi segala sejarah nan
lah dilupakan bersarang. matamu bermanik
ya, puti kita bawa pulang saja sauk ini ke hulu, karena
di binarnya adalah kolam, dimana seloka dan penno berenang-renang
serupa seribu semah dan tilan membiaki lubuk larangan
dan di ruang mata itulah kita lihat kampung-kampung
kembali mengemas halaman O  

Kota Tanah Pilih Pseko Betuah; 01/12
Ttd
yupnical saketi

Sabtu, 27 April 2013

Puisi Melayu Adi Suhara dalam Antologi "Indonesia Dalam Titik 13"


Mengecup Tanah Air

ya, di ujung bukit kenang itu aku meluapkan mimpi
pada seteguk airmata yang tertinggal di ujung desember
inilah tigabelas januari, ketika daun-daun mulai bertunas
gelisah yang dulu meranting di ujung tanjung kini mulai berkecambah
berputik jadi bebunga di awal tahun

lalu, aku yang punai ini pun mengepakkan sayap
menyemai rindu pada tanah dan reranting yang dulu sepi
sembari mengecup mimpi di seantero mata air
di seantero bumi pertiwi ini

Tabir Ulu, 13 Januari 2013

Minggu, 21 April 2013

Puisi Melayu Adi Suhara terbit di Surat Kabar Utusan Borneo Malaysia 17 Maret 2013


Melesatlah Seumpama Punai

sepercik asa adalah buih yang memecah
di deburan riak gelombang
ketika airmata adalah gerimis yang menganak sungai
maka, melesatlah seumpama punai
kepak-kepak sayap liarnya adalah do'a-do'a menuju bukit

Tabir ulu, 05 Januari 2013

Rindu Punai

rindu punai kembali menimang luka
pada secangkir do’a yang terhirup di sela jemari mimpi
serupa lelaki sungai yang kian hanyut ke tepian senja
tempat dimana kecambah-kecambah gerimis meng-airmata
lantas, senja menjelma kekasih abadi

ya, pada sepetang matahari yang ia kaji
tiang-tiang rindu tertancap rapuh, melapuk tanpa jejak
punai yang dulu kerap menari di pucuk-pucuk pohon kopi
kini tenggelam ditikam nasibnya sendiri
lalu ke sungai airmata-lah, ia meriakkan rindu
merakitkan kekisahnya pada bilah-bilah bambu

Tabir Ulu, 08 Januari 2012

Mumbang

serupa mumbang, bebukit kusam tanpa bebunga
reranting sepi tanpa dedaun
perlahan, almanak pun kian jauh ngiliri awal tahun
januari mulai terkikis debu-debu
meriwayatkan jejak punai merindu
dan mu adalah mumbang itu

Tabir Ulu, 12 Januari 2013

Lelaki Sungai

kuyup hujan kian menyemak di awal januari
meluapkan kekisah lelaki sungai di ujung tanjung
daun-daun melembab sepi
bertutur tentang punai yang kian merindu
musim belum jua berganti
lelaki sungai masih saja menganyam rakit dari bilah-bilah bambu
entah, ke tepian mana akan dipaut

Tabir Ulu, 02 Januari 2013

Jumat, 18 Januari 2013

Jejak Kubu dalam Puisi-puisi Asro al Murthawy


Penyair kubu, itulah gelar yang melekat pada Asro al Murthawy semenjak menerbitkan antologi tunggal berlabel “Lagu Bocah Kubu” pada rentang tahun 1990-an lalu. Kubu yang senantiasa didengungsebutkan oleh Asro al Murthawy dalam karya-karyanya, tidaklah berkonotasi negatif terhadap Suku Anak Dalam/ orang rimba yang ada di pedalaman Jambi. Asro al Murthawy mencoba mengangkat lebih jauh dari itu, menguak nilai-nilai kearifan lokal Kubu ke dalam puisi-puisinya. Hal ini tergambar pada beberapa karyanya, salah satunya puisi yang berjudul “Lagu Bocah Kubu” berikut:

Tanah Garo belumlah lelap benar malam itu
masih ada yang mencangkung di atas batu
lugu tak berbaju
terus melagu

            tanahku           o          tanahku
                                    tak ada hijau rumput lagi
            hutanku           o          hutanku
                                    tak ada harum umbut lagi
            burungku         o          burungku
                                    tak ada salam menyambut pagi
            jiwaku              o          jiwaku
                                    siapa hendak kusebut lagi?

Tanah Garo belumlah lelap benar nalam itu
Seorang bocak lugu tak berbaju terus melagu
Aku. Bocah Kubu

                                                Tanah garo, 1415 H

            Dari puisi nostalgik di atas, dapat dilihat bahwa penyebutan Kubu yang senantiasa menjadi stigma negatif terhadap sebutan lain bagi Suku Anak Dalam, terbantahkan oleh Asro al Murthawy. Penyair ini mencoba meluruskan pemaknaan “Kubu” yang telah jauh menyimpang dari hakikatnya. Ia mencoba mengangkat nilai-nilai lebih dari “Kubu” ini ke dalam karya-karya yang ia ciptareka. Bahkan dalam puisi-puisinya yang lain, Asro al Murthawy menjelma jadi bocah kubu, larut dalam diksi-diksi lokalitas kubu yang ia bangun. Tentu semua diksi yang ia gunakan merupakan hasil perenungan dan pergulatan bathin atas kesehariannya yang berdampingan dengan masyarakat Kubu (baca; Suku Anak Dalam) itu sendiri. Berikut penggalan puisi berjudul “Mana Kuauku, Mak?” yang saya kutip:

“Mano kuauku, Mak?”

Maak! Beribu kuau mati diburu, beribu lirung mati dikurung
Beribu jalak mati ditembak, beribu belibis mati habis

“Mano napuhku, Mak?”

Maak! Beribu tampoi mati dibantai, beribu cempedak mati dibajak
beribu embacang mati ditebang, beribu bidara mati sengsara

Dalam puisi-puisi “Kubu”nya, Asro al Murthawy senantiasa menyelipkan pesan-pesan dari pedalaman. Baginya berpuisi bukanlah sekedar merangkai kata-kata, rima dan metafora. Puisi mestinya mempunyai ruh dan pesan yang bisa disampaikan kepada penikmatnya. Hal ini tergambar pada puisi berjudul “Kubuka Buku Luka Kubuku” berikut:

Kubuka bukubuku, kubuka
terbaca lukalukaku
terluka tubuhtubuhku terluka
menganga lukalukaku menganga

luka di tubuhku, lukaku
duka di bukubuku, dukaku
kubu di bukubuku, tubuhku

Buku Kubu, bukuku
Luka Kubu, lukaku
Duka Kubu, Dukaku
                                    Sanggar IMAJI Bangko, 1418 H
           
Mengenal puisi-puisi “Kubu” Asro al Murthawy, kita akan di ajak larut dalam tema dan konstruksi puisi bernuansa lokalitas pedalaman Jambi. Penyair telah berhasil membangun konstruksi puisi yang syarat akan pesan-pesan dari pedalaman. “Kubu” yang selama ini merupakan sebutan berkonotasi negatif terhadap Suku Anak Dalam, melalui karya puisi Asro al Murthawy berhasil membantahnya. Dialah Penyair Kubu, yang senantiasa menyanyikan lagu bocah Kubu dari pedalaman Jambi, Sumatera. Wassalam

19 Januari 2013