Senin, 26 November 2012

Setampuk Kasih


tentang perjamuan kita di rumah panggung
setampuk kasih menjurai rindu
terendam jauh ke lubuk dalam
lalu terkenanglah pantun nan selarik
sirih pinang nan senampan

kini temali lah terurai, biduk lah melaut
kemana haluan hendak ditambat
selain hanyut mengikuti riak gelombang
menelusuri tanjung nan berliku, kampung nan beradat
entah muara mana kasih melabuh

Tabir Ulu, 10 Agustus 2012

Kamis, 13 September 2012

Puisi Melayu Adi Suhara dipublikasikan di Horison Online tanggal 09 September 2012



 Oi Nak

Oi nak, berlarilah seperti kijang jantan
jangan seperti kukang di dahan jelutung
jangan serupa pungguk di pucuk nibung
langit lah ngajarkan kita menganyam nipah
tanah lah ngajarkan kita menganyam pandan

Oi nak, mulailah belajar meniti nasib
supaya kerak hidup tak lagi menghitam
terombang-ambing seperti buih mengapung di dulang

Oi nak, tiuplah api di tengah laman
biar terang sepanjang malam
nandungkan krinok, tabuhkan gendang
biar  terhibur seisi jaman

Oi nak, matahari lah mulai meninggi
berjalanlah ke rantau jauh
bila tersesat, menepilah di sungai nan tenang
agar biduk bisa kau tambatkan di tepian

Tabir Ulu, 30 Juli 2012
 

Minggu, 12 Agustus 2012

Telaga Itu Kembali Beriak

Tak kusangka, setelah sekian lama tertidur dari hiruk-pikuk sastra, hari ini lompatan besar luar biasa terjadi padaku. Tahun 2012 adalah awal dari segalanya, satu per satu pijak ini kembali menapak ke ranah sastra yang sebelumnya sempat kubenci. Tak luput dari ingatan, tahun 2007 saya memutuskan untuk mundur dari dunia ini, rupanya selama vakum, selama itu pula ada pergolakan bathin yang menyesak. Darah berkesenian bergolak berontak mengelitik kreativitas saya. Hingga awal 2012, saya dipertemukan dengan seorang yang berpengaruh dalam kreativitas berkesenian saya selanjutnya. 

Dialah sosok Asro Al Murthawy, penggiat sastra di derah Jambi wilayah barat.  Persinggungan saya dengannya telah mengantarkan saya pada sahabat-sahabat sastra yang lain di wilayah Kabupaten Merangin dan Kabupaten Bungo, sebut saja alm Kaolan SA, Alhendra dy dy, Jen Kelana, Buana KS, FE Sutan Kayo, Wiko Antoni, dll. Dengan persinggungan itu pulalah, menjadi awal pemicu saya ikut larut dalam dunia ini kembali. 

Saya merasa, telaga yang kemarin sempat tenang sejenak kembali beriak. Ada ombak kegelisahan yang ia deburkan ke permukaan. Inilah kegelisahan berkesenian yang tak pernah mau tertidur akan kreativitas. Darah berkesenian adalah darah yang selalu menggelegak ketika ada stimulan menyentilnya, meski setitik. 

Ah, seingat saya terakhir lima tahun yang lalu kebiasaan saya mengirimkan karya puisi saya ke media cetak lokal, dan hari ini kebiasaan itu sepertinya terulang kembali dengan nuansa karya yang berbeda. Semoga semakin matang!

(catatan ini saya tulis representasi dari puisi saya dimuat di horisononline.or.id, 09 Agustus 2012)

Jumat, 10 Agustus 2012

Lubuk Larangan: Kearifan Lokal Masyarakat Tabir Ulu

Tabir Ulu adalah sebuah Kecamatan yang ada di Kabupaten Merangin Propinsi Jambi, daerah yang terletak di sepanjang aliran Sungai Tabir ini mempunyai beberapa kearifan lokal yang sampai sekarang masih terjaga keberadaannya. Salah satu kearifan lokal tersebut adalah adanya Lubuk Larangan Desa, yaitu sebuah lokasi di aliran Sungai Tabir yang disepakati oleh masyarakat setempat sebagai tempat untuk berkembang biaknya ikan sungai. Di lokasi ini masyarakat dilarang untuk mengambil ikan sampai waktu panen tiba. Lubuk larangan ini dipanen oleh masyarakat secara berkala biasanya dua tahun sekali, itupun hanya dibuka untuk beberapa hari saja sebagai ajang pesta ikan bagi masyarakat. Bagi yang kedapatan mengambil ikan sebelum waktu panen tiba, maka akan dikenakan sanksi adat oleh masyarakat setempat.

Keberadaan lubuk larangan ini sangat dirasakan oleh masyarakat Tabir Ulu, selain untuk kelangsungan ikan sungai lubuk larangan ini menjadi sebuah sumber pemasukan bagi kas Desa. Biasanya saat panen, bagi yang ingin memancing dan menjala ikan di areal lubuk larangan akan dikenakan biaya. Untuk memancing dipatok biaya Rp.100.000, dan untuk menjala ikan dikenakan biaya sebesar Rp.200.000.

Uang yang terkumpul akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur di desa, salah satu Desa yang merasakan betul manfaat dari adanya lubuk larangan ini adalah Desa Kapuk, Desa yang merupakan pintu gerbang bagi Kecamatan Tabir Ulu ini sekarang mempunyai tiga buah lubuk larangan. Dana yang didapat dari hasil lubuk larangan ini telah digunakan untuk pembangunan kios di pasar kalangan, jalan usaha tani dan sebagian lagi disumbangkan ke mesjid-mesjid dan langgar-langgar yang ada di desa ini.

Sungguh sebuah karifan lokal yang sepatutnya bisa ditiru oleh daerah lain. Paling tidak dengan adanya potensi desa (lubuk larangan) ini, Desa tersebut tidak kesulitan untuk mencari dana bagi pembangunan infrastruktur di desanya, sehingga pembangunan akan terus berkelanjutan.

Orang-orang Batin


Getah mengucur mengikuti lekukan abad
Berdenyut di alir darah orang-orang Batin
Hikayat leluhur bertulis sebentuk relief prasasti
Tertoreh di batang-batang para
Di renah ini, getah karet adalah emas putih
Pengisi uncang sirih kaum nekno

                                Tabir Ulu, 26 Februari 2012


Keterangan:
Orang Batin : Salah satu Suku Asli Jambi
Renah: Tanah
Uncang: Tempat sirih terbuat dari kain
Nekno: Nenek Betino/ Nenek

Sumpah Dewo Orang Rimba

Orang rimba atau yang sering disebut Suku Anak Dalam (SAD) mempunyai kebiasaan unik, yaitu mereka tidak mau memakan hewan atau binatang yang dipelihara, tidak mau hidup menetap, selalu berpindah-pindah. Kebiasaan ini terkait dengan persumpahan nenek moyang mereka yang mereka sebut “Sumpah Dewo” inilah bunyi Sumpah Dewo mereka:

“Hidup beayam kuau, bekambing kijang, bekerbau ruso, sudung (rumah) beatap sikai, badinding banir, balantai tanah yang bekelambu resam, suko berajo, bejenang, babatin, bapenghulu”

Menurut kepercayaan mereka, jika diantara mereka ada yang melanggar persumpahan nenek moyang ini, maka dia akan hidup menderita berkepanjangan. Hal ini digambarkan dalam seloko adat mereka;

“Di bawah idak berakar, di ataih idak bepucuk, tengah-tengah ditebuk kumbang, kalo ke darat diterkam imau, ke air ditangkap buayo”

Inilah Tanah Merangin


Di tanah ini
Puncak Masurai Enggan Membusungkan dada
Hanya mampu mengurai airmata Segirincing
Batu-batu purba pun membisu
Mendengkur dalam jutaan abad
Semua hilang dalam aroma tempoyak
Saat durian lagi bermusim

Di tanah ini
Anak gadis tak mau lagi bertekuluk berbaju kurung
Sudah tak tau lagi cara menggaleh ambung
Anak bujang lalai mengisi sangku dengan sirih pinang
Lupa menambatkan Biduk Amo di tepian
Bulir seloko tak lagi didedah di tikar pandan

Inilah tanah Merangin
Tanah dimana Si Pahit Lidah pernah bermukim
Tanah tempat bertahtanya Sirajo Banting
Di sinilah, hikayat Kuau pernah ditutur-kununkan
Syair pantun pernah dinandung-krinokkan

Kini semua punah ditelan belukar tua
Hanyut mengikuti riak Batang Tabir ke laut
Hanya meninggalkan jejak Batu Sungkai
Di Taman Kerak Bumi
Meninggalkan jejak purba
Di Batu Bertulis Karang Berahi

                        Tabir Ulu, 15 Februari 2012

Keterangan:
Masurai : Nama sebuah gunung di Kab. Merangin Jambi
Segirincing: Nama air terjun di Merangin
Tempoyak: Sejenis masakan tradisional Jambi yang terbuat dari buah durian
Bertekuluk : Memakai penutup kepala sejenis selendang
Berbaju kurung:  Memakai Pakaian tradisional
Menggaleh : Menggendong/ menempatkan di punggung
Ambung : Sejenis Keranjang terbuat dari rotan
Sangku : Tempat sesajian biasanya berisi sirih pinang
Biduk Amo: Perahu tradisional Merangin
Seloko: Seloka/ Pepatah Adat
Kunun: Sastra lisan, cerita rakyat yang disenandungkan
Krinok : Musik tradisional Jambi
Batang Tabir: Salah satu sungai yang ada di Merangin
Taman Kerak Bumi: Geopark/ situs Purbakala zaman megalitikum yang ada di Merangin
Batu Bertulis Karang Berahi: Batu bertulis peninggalan Sriwijaya di Merangin

Asal-usul Orang Rimba

Orang Rimba atau yang dikenal dengan Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu etnik tradisional yang ada di Indonesia. Orang Rimba ini tersebar luas di Propinsi Jambi, dan hanya beberapa saja di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Sesuai dengan sebutannya “Orang Rimba”, keberadaan mereka memang lebih banyak di dalam hutan dan selalu hidup berpindah-pindah, meskipun sekarang ada yang sudah mulai menetap.

Hutan merupakan sumber penghasilan Orang Rimba. Kebanyakan mereka menggantungkan hidup dari berburu hewan liar di hutan, mencari rotan, atau damar yang akan dijualnya kepada “Orang Terang” (Sebutan Orang Rimba kepada Penduduk luar). Sampai saat ini Orang Rimba dan Orang Terang selalu hidup berdampingan, dan tidak ada perselisihan. Menurut Orang Rimba, Orang Terang adalah saudara mereka, dan sudah ada perjanjian sejak dahulu kala kalau Orang Rimba tidak boleh mengganggu Orang Terang dan Orang Terang tidak boleh mengganggu Orang Rimba. Ada yang unik dari kebiasaan Orang Rimba, mereka tidak mau memakan hewan/ binatang yang dipelihara. Menurut mereka hewan yang dipelihara berjasa bagi manusia, untuk itu tidak boleh dijadikan makanan.

Mengenai asal-usul Orang Rimba, ada beberapa pendapat yang berkembang di tengah masyarakat Jambi. Sebagian ada yang mengatakan kalau Orang Rimba atau Suku Anak Dalam berasal dari Pagaruyung, Suku Anak Dalam merupakan prajurit Pagaruyung yang sengaja diutus untuk menyampaikan pesan kepada Raja Jambi yang diperjalanan Prajurit tersebut tersesat, dan akhirnya memutuskan untuk hidup di hutan. Pendapat lain menyebutkan kalau Orang Rimba pada zaman perjuangan dahulu awalnya hanyalah Penduduk Biasa yang sengaja memutuskan untuk tinggal dan hidup di hutan karena mereka tidak mau dijajah Belanda. Terlapas benar atau tidak kedua pendapat tersebut, sampai sekarang pendapat tersebut masih berkembang ditengah masyarakat Jambi.

Seloko Adat Jambi

Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya begitu juga lain tempat, lain pula pepatah adatnya. Berikut ini saya sajikan beberapa pepatah adat yang ada di tengah masyarakat Jambi sebagai bagian dari khasanah kebudayaan Indonesia:

Pemimpin itu hendaknyo ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnyo rimbun tempat belindung ketiko hujan tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo.. pegi tempat betanyo, balik tempat babarito.
(Pemimpin itu hendaknya jadi pengayom)

Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait..
( janganlah lain di kata lain di hati)

Jangan menggunting kain dalam lipatan, menohok kawan seiring..
(jangan menghianati kawan sendiri)

Hendaknyo masalah iko Jatuh ke api hangus, jatuh ke aek hanyut..
(hendaknya masalah ini cukup selesai di sini/cukup sampai di sini)

Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung..
(hendaknya datang secara baik-baik, pergi juga secara baik-baik)

Awak pipit nak nelan jagung
(impian yang terlalu besar, impian yang tidak mungkin)

Pegi macang babungo, balik macang bapelutik..
(istilah yang dipakai untuk orang yang merantaunya hanya sebentar)

Kalu aek keruh di muaro, cubo tengok ke hulu
(Kalau ada suatu masalah terjadi, cobalah lihat dulu penyebabnya)

Tepagar di kelapo condong, batang di awak buah di kanti
(Istilah ini dipakai untuk yang salah menikahi pasangannya, raga millik kita tapi cinta milik orang lain)

Itulah beberapa pepatah/sloko adat Jambi yang bisa saya informasikan, tentunya masih banyak lagi pepatah-pepatah lain yang sering dipakai dalam keseharian maupun dalam acara adat masyarakat Jambi..

Introduksi Bahasa Dalam Bahasa Jambi


Bahasa Jambi umumnya tidak jauh beda dengan bahasa melayu lainnya. Selain mempunyai ciri khas tersendiri, bahasa Jambi juga tidak lepas dari pengaruh bahasa luar daerah yang ikut membangun bahasa Jambi itu sendiri.

Sebagai contoh, ketika orang Jambi menyebut kata “Bola” yang dalam bahasa Jambi disebut dengan kata “Bal”. Ini adalah introduksi dari bahasa asing yang sebagaimana kita ketahui bahwa orang Inggris juga menyebutnya dengan kata “Ball”. Demikian juga dengan menyebutkan pintu, yang dalam bahasa Jambi seberang di sebut “Lawang”, kata ini kemungkinan introduksi dari bahasa Jawa pada masa lalu yang kemudian membaur dengan bahasa Jambi..

Introduksi bahasa merupakan bagian dari akulturasi budaya. Ini lumrah terjadi, apalagi dengan pesatnya arus teknologi dewasa ini. Kemungkinan akan masuknya pengaruh bahasa luar ke Jambi akan semakin besar. Setidaknya dengan adanya introduksi bahasa luar ke dalam bahasa Jambi, kita harapkan bahasa Jambi itu sendiri tidak kehilangan identitasnya..

Mari kita Lestarikan Adat Budaya Jambi!

Seloko Dalam Masyarakat Adat Jambi


Apa itu seloko adat? Saya yakin masih banyak generasi muda Jambi yang belum tau dan bertanya-tanya. Padahal sebagai generasi penerus (generasi muda), kita wajib untuk mempelajarinya agar budaya Seloko di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini tidak terancam punah.

Seloko yang dalam bahasa Indonesia berarti seloka atau pepatah atau dengan kata lain bisa juga disebut sebagai petuah adat. Di Jambi, Seloko adat ini merupakan bagian dari tuntunan bermasyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang mengatur kehidupan masyarakat adat Jambi itu sendiri.

Sebagai contoh, dalam hal pengambilan keputusan dalam pemerintahan, seloko adat Jambi menyebutkan “berjenjang naik bertanggo turun, turun dari takak nan di atas, naik dari takak nan di bawah” seloko adat tersebut mempunyai pengertian bahwa dalam pengambilan keputusan terdapat tingkatan-tingkatan pengambilan keputusan,. Mulai dari pengambil keputusan tertinggi “Alam nan Berajo” sampai pengambil keputusan di tingkat paling bawah “Anak nan Berbapak, Kemenakan nan Bermamak”.

Selanjutnya, begitu juga dalam hal bekelompok atau berorganisasi, di dalam masyarakat Jambi mengenal nilai-nilai kegotong-royongan, hal ini tergambar dalam seloko adat “Ringan samo dijinjing, berat samo dipikul, ke bukit samo mendaki, ke lurah samo menurun, malang samo merugi, belabo samo mendapat”. Dalam berorganisasi ini, juga senantiasa mengacu kepada nilai-nilai kemufakatan. Banyak seloko adat Jambi yang menggambarkan pentingnya bermufakat dalam berorganisasi, antara lain “Bulat aek dek pembuluh, bulat kato dek mufakat, Kato sorang kato bapecah kato besamo kato mufakat, duduk sorang besempit-sempit duduk besamo belapang-lapang”.

Beberapa Seloko adat ini juga mengatur dalam hal pergaulan sehari-hari. “Bejalan Peliharo kaki, jangan sampai tepijak kanti, becakap peliharo lidah, jangan sampai kanti meludah, jangan menggunting kain dalam lipatan, menohok kawan seiring”.

Seloko adat ini berfungsi sebagai penuntun untuk berbuat baik bagi masyarakat Jambi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kebaikan. Itulah mengapa Seloko Adat tidak bisa lepas dari keseharian masyarakat Jambi. Orang Jambi sering juga menyebutnya sebagai pepatah-petitih/ petuah adat.

Sebagai penutup ada sebuah seloko yang ingin saya sajikan:
“Batang pulai berjenjang naik, meninggalkan ruas dengan buku, Manusio berjenjang turun meninggalkan perangai dengan laku”.
Jadi, berbuat baiklah selalu sesuai dengan akar budayo kito orang Jambi.

Jambi Negeri Pantun


Mungkin kita sepakat kalau Jambi kita sebut dengan Negeri Pantun. Kenapa? Tentunya hal ini beralasan, karena Jambi sangat kaya dengan Pantun-pantunnya. Sudah sewajarnya imej tersebut melekat pada Jambi.
Anda bisa perhatikan lirik-lirik lagu Jambi yang umumnya kebanyakan berisikan pantun, atau anda juga bisa mendengar anak-anak muda di Jambi yang senantiasa menggunakan pantun sebagai media untuk merayu pasangannya, bahkan di pelosok Jambi ada sebuah tradisi yang disebut tradisi berbalas pantun.
Di sini saya coba menghadirkan kepada anda beberapa pantun yang biasa digunakan oleh masyarakat Jambi :

Batanghari aeknyo tenang
Sungguhpun tenang deras ke tepi
Anak Jambi jangan dikenang
Kalo dikenang merusak hati

Kami ba umo di lereng bukit
Rebah padi digiling batang
Kami umpamo si burung pipit
Kemano terbang di halau orang

Hidup api pangganglah kuau
Kuau tepanggang si abang kaki
Maksud hati nak meraih pulau
Pulau dijago si Nago sakti

Lubuk pungguk tepian Napal
Tempat budak mencuci baju
Awak biduk nak serempak kapal
Idakkan mungkin nyo samo laju

Bederai hujan di rimbo
Tibo di padi bederai jangan
Becerai kito di muko
Namun di hati becerai jangan

Hanya itu pantun yang bisa saya sajikan, masih banyak pantun-pantun lainnya yang sering digunakan oleh masayarakat Jambi dalam berbagai acara adat, acara muda-mudi dan acara-acara lainnya. Saya membayangkan, andai saja suatu saat nanti di Jambi ada sebuah gapura/ tugu selamat datang yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI NEGERI PANTUN” Mungkin bagus kali ya? He..he..

Keris Itu Bernama Siginjai


Pernahkah anda membaca sejarah atau legenda tentang Rangkayo Hitam seorang Raja Jambi Keturunan Datuk Paduka Berhala dan Ratu Selaras Pinang Masak yang mendirikan Kerajaan Melayu Jambi? Mungkin tidak banyak yang tahu.. Saya akan menceritakan sedikit tentang Legenda Rangkayo Hitam kepada anda.

Rangkayo Hitam merupakan seorang Raja Melayu Jambi yang sangat pemberani dan sakti, saat pemerintahan kerajaan dibawah kepemimpinan kakaknya Rangkayo Pingai, Rangkayo Hitam pernah mencegat upeti yang dikirimkan kakaknya kepada kerajaan Mataram yang waktu itu Kerajaan Melayu Jambi merupakan daerah jajahan kerajaan Mataram. Upeti itu berhasil digagalkan oleh Rangkayo Hitam, karena beliau berpendapat bahwa Kerajaan Melayu Jambi merupakan Kerajaan yang berdaulat dan tidak tunduk kepada Kerajaan manapun..

Mendengar adanya gejolak di Kerajaan Melayu Jambi yang tidak mau mengirimkan upeti ke Kerajaan Mataram dan tentang adanya seorang sakti bernama Rangkayo Hitam yang menggegalkan Upeti tersebut, maka Raja Mataram merencanakan akan melakukan penyerangan ke kerajaan Melayu yang disebut serangan Pamalayu dan segera memerintahkan seorang empu untuk membuat sebuah keris sakti yang akan digunakan untuk membunuh Rangkayo Hitam..

Mendengar hal tersebut, Rangkayo Hitam berangkat menuju Kerajaan Mataram untuk menggagalkan rencana tersebut. Di daerah mataram Rangkayo Hitam bertemu dengan seorang empu yang sedang membuat keris. Rangkayo Hitam bertanya kepada empu untuk siapa keris tersebut, empu itupun menjelaskan bahwa keris tersebut untuk Raja Mataram yang katanya akan digunakan untuk membunuh seorang sakti di Kerajaan Melayu Jambi yang bernama Rangkayo Hitam, saat itu empu juga menjelaskan bahwa keris tersebut dibuat dari tujuh macam besi yang diawali oleh huruf P, dan akan sempurna bila telah dimandikan di tujuh muara..

Rangkayo Hitam pun saat itu juga merebut keris tersebut dari tangan sang empu, dan mengatakan bahwa dialah Rangkayo Hitam. Empu itupun akhirnya tewas di tangan Rangkayo Hitam. Setelah mendapatkan keris, Rangkayo Hitam segera kembali ke Kerajaan Melayu untuk menyiapkan segala sesuatu jika nanti kerajaan Mataram jadi menyerang dan segera ia menyempurnakan keris tersebut di tujuh muara.. Hingga keris tersebut menjadi senjata sakti bagi Rangkayo Hitam.

Rangkayo Hitam sering meletakkan keris tersebut di sanggul rambutnya sehingga orang-orang sering menyebutnya dengan sebutan “Ginjai” yang berarti tusuk konde. Sampai akhirnya keris tersebut diberi nama Keris SIGINJAI.

Denting Waktu


Kau adalah denting waktu
berpijar dalam bijak-bijak kata
bukit putih kau lumuri tinta air laut
savana menghijau menghampar sajak
daun-daun bertunas muda
kuncup-kuncup bermekar bunga

Kau adalah denting waktu
kadang luka dalam pijak-pijak kata

                                    Tabir Ulu, 20 Maret 2012