Jumat, 18 Januari 2013

Jejak Kubu dalam Puisi-puisi Asro al Murthawy


Penyair kubu, itulah gelar yang melekat pada Asro al Murthawy semenjak menerbitkan antologi tunggal berlabel “Lagu Bocah Kubu” pada rentang tahun 1990-an lalu. Kubu yang senantiasa didengungsebutkan oleh Asro al Murthawy dalam karya-karyanya, tidaklah berkonotasi negatif terhadap Suku Anak Dalam/ orang rimba yang ada di pedalaman Jambi. Asro al Murthawy mencoba mengangkat lebih jauh dari itu, menguak nilai-nilai kearifan lokal Kubu ke dalam puisi-puisinya. Hal ini tergambar pada beberapa karyanya, salah satunya puisi yang berjudul “Lagu Bocah Kubu” berikut:

Tanah Garo belumlah lelap benar malam itu
masih ada yang mencangkung di atas batu
lugu tak berbaju
terus melagu

            tanahku           o          tanahku
                                    tak ada hijau rumput lagi
            hutanku           o          hutanku
                                    tak ada harum umbut lagi
            burungku         o          burungku
                                    tak ada salam menyambut pagi
            jiwaku              o          jiwaku
                                    siapa hendak kusebut lagi?

Tanah Garo belumlah lelap benar nalam itu
Seorang bocak lugu tak berbaju terus melagu
Aku. Bocah Kubu

                                                Tanah garo, 1415 H

            Dari puisi nostalgik di atas, dapat dilihat bahwa penyebutan Kubu yang senantiasa menjadi stigma negatif terhadap sebutan lain bagi Suku Anak Dalam, terbantahkan oleh Asro al Murthawy. Penyair ini mencoba meluruskan pemaknaan “Kubu” yang telah jauh menyimpang dari hakikatnya. Ia mencoba mengangkat nilai-nilai lebih dari “Kubu” ini ke dalam karya-karya yang ia ciptareka. Bahkan dalam puisi-puisinya yang lain, Asro al Murthawy menjelma jadi bocah kubu, larut dalam diksi-diksi lokalitas kubu yang ia bangun. Tentu semua diksi yang ia gunakan merupakan hasil perenungan dan pergulatan bathin atas kesehariannya yang berdampingan dengan masyarakat Kubu (baca; Suku Anak Dalam) itu sendiri. Berikut penggalan puisi berjudul “Mana Kuauku, Mak?” yang saya kutip:

“Mano kuauku, Mak?”

Maak! Beribu kuau mati diburu, beribu lirung mati dikurung
Beribu jalak mati ditembak, beribu belibis mati habis

“Mano napuhku, Mak?”

Maak! Beribu tampoi mati dibantai, beribu cempedak mati dibajak
beribu embacang mati ditebang, beribu bidara mati sengsara

Dalam puisi-puisi “Kubu”nya, Asro al Murthawy senantiasa menyelipkan pesan-pesan dari pedalaman. Baginya berpuisi bukanlah sekedar merangkai kata-kata, rima dan metafora. Puisi mestinya mempunyai ruh dan pesan yang bisa disampaikan kepada penikmatnya. Hal ini tergambar pada puisi berjudul “Kubuka Buku Luka Kubuku” berikut:

Kubuka bukubuku, kubuka
terbaca lukalukaku
terluka tubuhtubuhku terluka
menganga lukalukaku menganga

luka di tubuhku, lukaku
duka di bukubuku, dukaku
kubu di bukubuku, tubuhku

Buku Kubu, bukuku
Luka Kubu, lukaku
Duka Kubu, Dukaku
                                    Sanggar IMAJI Bangko, 1418 H
           
Mengenal puisi-puisi “Kubu” Asro al Murthawy, kita akan di ajak larut dalam tema dan konstruksi puisi bernuansa lokalitas pedalaman Jambi. Penyair telah berhasil membangun konstruksi puisi yang syarat akan pesan-pesan dari pedalaman. “Kubu” yang selama ini merupakan sebutan berkonotasi negatif terhadap Suku Anak Dalam, melalui karya puisi Asro al Murthawy berhasil membantahnya. Dialah Penyair Kubu, yang senantiasa menyanyikan lagu bocah Kubu dari pedalaman Jambi, Sumatera. Wassalam

19 Januari 2013

Tidak ada komentar: