Minggu, 19 Oktober 2008

SASTRA JAMBI MISKIN KRITIK

Oleh:Adi Suhara

Kurangnya kualitas suatu karya sastra salah satunya disebabkan oleh kurangnya kritik atas karya sastra itu sendiri, dan kurangnya kritik sastra menyebabkan para kreator karya sastra menjadi monoton dengan gaya yang itu-itu saja. Sehingga perkembangan sastra tetap saja tidak mengalami kemajuan alias jalan di tempat.

Hal semacam ini terjadi di Jambi. Saat ini terasa sekali bahwa kritik sastra Jambi masih kurang. Padahal, meminjam istilah Monas Junior beberapa tahun yang lalu “BILA BANYAK ESSAI YANG GENIT” maka para kreator sastra pun semakin terpacu untuk meningkatkan kualitas karyanya. Tentunya terlepas dari standar para kritikus yang berbeda-beda dalam menilai sebuah karya sastra.

Di Jambi, dunia kritik sastra belum begitu popular. Kebanyakan para kritikus Jambi saat ini masih berkutat pada kritik lisan, yaitu kritik yang disampaikan secara spontan terhadap sebuah karya. Padahal, bila diaktualisasikan dalam bentuk tulisan (essai), dan dipublikasikan di media cetak tentu akan memberikan nilai tambah dan pengaruh yang lebih luas terhadap perkembangan sastra itu sendiri.

Di beberapa rubrik-rubrik sastra media cetak lokal, hanya beberapa nama saja yang sempat muncul memberikan kritik terhadap iklim sastra Jambi. Sebut saja Yupnical Saketi, Bambang Setiawan, dan Firdaus. Namun, beberapa nama tersebut masih berkutat pada kritik seni secara umum, dan belum menyentuh pada hal teknis dan nilai-nilai normative suatu karya. Wajar saja saat ini para penulis muda Jambi belum menemukan resep dan kombinasi yang tepat dalam berkarya. Karena secara tennis mereka masih memerlukan bimbingan.

Kritik sastra ibarat suplemen bagi kreator sastra. Gemuk dan kurusnya nilai gizi suatu karya dapat dilihat dari kacamata sang kritikus. Semakin banyak dan semakin tajam analisa sang kritikus dalam menganalisa karya kreator, tentunya bisa meningkatkan kualitas kreator dalam berkarya. Apalagi bagi para penulis muda (penulis pemula) yang masih minim pengetahuan tentang bagaimana sebuah karya itu bisa disebut karya berkualitas. Biasanya, mereka senang sekali kalau karya mereka sempat diulas di media cetak.

Sayangnya dunia kritik-mengkritik ini belum membudaya di Jambi. Sastra Jambi kini masih miskin kritik. Seharusnya seiring dengan perkembangan iklim sastra, dunia kritik juga perlu untuk tumbuh dan berkembang. Karena sinergis antara para kreator sastra dan kritikus sastra mempunyai andil yang besar dalam perkembangan sastra itu sendiri. Meskipun secara rill iklim sastra Jambi saat ini belum menunjukkan perkembangan yang memuaskan.

Di akhir tulisan ini, sebagai pencinta dan penikmat karya sastra, penulis hanya bisa berharap dan menghimbau rekan-rekan yang juga punya ketertarikan dan minat terhadap dunia sastra, agar mau ikut ambil bagian dalam memberi masukan dan kritik terhadap perkembangan sastra jambi. Tentunya melalui masukan dan kritik yang cerdas, karena melalui masukan dan kritik yang cerdaslah iklim sastra Jambi bisa kembali menggeliat. Penulis yakin-mengutip pernyataan DR.Ir.H.M.Havidz Aima, M.S dalam pengantar Antologi Puisi Negeri Nurani-bahwa benih-benih elok nan kemilau dari Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, suatu saat dan tak lama lagi akan turut mewarnai perkembangan dan perubahan sastra di Indonesia.

Semoga saja!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Setuju Pak. Salam kenal. Thanks.