Sesuai permintaan panitia seleksi
puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI (selanjutnya disingkat PPN VI) Jambi, lima
puisi pun saya layangkan ke email panitia. Lima puisi tersebut berjudul: Nusantara,
Tanah Melayu, Mari Berdendang, Di Kuncup Pagi dan Ujung Petang, dan Di Tanah
Jambi. Saya pun mengirimkan puisi yang terlebih dahulu saya sesuaikan dengan
tema PPN VI Jambi tersebut, yaitu “Nusantara dalam
Perspektif Historis, Filosofis, dan Eksistensial". Jujur bagi saya yang
awam ini, yang secuma penulis puisi huluan ini, tema yang sedemikian “wow” itu agak
rumit juga saya jabarkan. Setelah saya cermati satu-persatu, sekali lagi satu
per satu, baru lah saya mulai menuangkan ide tersebut dalam bentuk larik-larik
puisi. Maka jadilah lima puisi bertemakan kenusantaraan, kemelayuan, dan
kejambian itu. Mungkin tidak lengkap rasanya jika ke lima puisi tersebut tidak
saya dedahkan dalam catatan ini. Berikut petikan bait ke dua dan ke tiga puisi
berjudul “ Nusantara” dalam sederetan puisi yang saya kirimkan:
/2/
di jemarimu, pinisi
pujangga melautkan kata
menumpas
garang lanun dan gelombang samudera
dari zaman ke
zaman, dari masa ke masa
mengoyak tapal
batas dan garis-garis peta
/3/
di matamu,
para peziarah abad mengeja aksara pallawa
membaca
kembali artefak-artefak purba
merekonstruksi
silsilah puyang di tubuhmu
tentang rumpun
yang tercerai-berai membuih, menyerpih
Puisi
di atas bertemakan kenusantaraan, tidak termasuk yang diloloskan panitia. Barangkali
saja tidak-atau dengan kata lain-kurang sejalan dengan tema yang diusung
panitia, tentu panitia punya standar dan kriteria tersendiri dalam menilai dan
meloloskan sebuah karya. Selanjutnya mari kita perhatikan penggalan puisi ke
dua saya berjudul “Sepanjang Zaman” berikut petikannya:
Membentanglah
sepanjang zaman
negeri gemah
ripah berbunga rempah
terselip di
antara dua samudera, terapit di antara
dua benua
inilah nusantara,
tanah berpagar bulu perindu
berpasir putih
berlaut biru, tempat para saudagar berburu gaharu
tempat para
pelaut berburu kerapu
dan puisi ke tiga yang saya sajikan
secara utuh, berjudul “Mari Berdendang” berikut petikannya:
Merakit
sepi di tepian
meranting rindu di halaman
sesap-menyesap, semak-menyemak
seliku tanjung, sehuluan
Oi, serantau bertuah
si rotan sikai lah nyesak dada
isilah sangku, tabuhlah gendang
lautkan biduk, kayuhlah sampan
meranting rindu di halaman
sesap-menyesap, semak-menyemak
seliku tanjung, sehuluan
Oi, serantau bertuah
si rotan sikai lah nyesak dada
isilah sangku, tabuhlah gendang
lautkan biduk, kayuhlah sampan
marilah
berdendang
Dua
buah puisi di atas bertema dan bercita rasa melayu. Dan kemelayuan ini pula
yang saya coba angkat dengan menyisipkan lokalitas kejambian. Mari kita simak
dua buah puisi di bawah ini bertemakan lokalitas melayu Jambi, puisi berjudul “Di
Kuncup Pagi dan Ujung Petang”, dan berikut penggalan baitnya:
di kuncup pagi, setampuk embun melembab di bibir daun
mengisak tangis di antara gelimpangan musim
tanah-tanah mengering lepuh
mengisak tangis di antara gelimpangan musim
tanah-tanah mengering lepuh
menyisakan anak-anak sungai mencurah senyum
ke lubuk dangkal di kaki bukit, tempat anak kijang
bermandi angin
dan selanjutnya inilah puisi yang
akhirnya dipilih panitia (kurator) untuk ikut tergabung ke dalam “Sauk Seloko”,
puisi ini berjudul “Di Tanah Jambi”
berikut saya sajikan secara utuh:
Pagi, embun dipikat di
rimbun pucuk karet
ketipak-ketipung daun-daun iringi
jerit punai merindu
cucur getah bercampur
keringat berluka nanah di batang para
sejak nenek moyang
beranak-pinak di tanah ini
Senja, secangkir kawo
terhidang di tikar pandan
ruak-ruak melenggang lantunkan
lagu ilalang
bujang gadis menanam pantun
di tanah ladang
Malam, di bawah sinar bulan
sekumpulan gadis berselampit
delapan
berselendang mayang
melagukan krinok tauh
sepanjang halaman
Dari
uraian-uraian saya di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua puisi bercorak
kenusantaraan dapat tergabung ke dalam “Sauk Seloko” (bunga rampai puisi PPN
VI) ini, begitu juga dengan puisi-puisi bertema dan bercorak melayu. Dari beberapa
puisi yang saya coba simak dan telusuri, sepertinya kecenderungan kurator (Dimas
Arika Miharja, Acep Zamzam Noor, dan Gus tf) lebih menitik beratkan pada
lokalitas karya tentu dalam kerangka keberagaman nusantara. Termasuk salah
satunya puisi saya “Di Tanah Jambi” yang telah menjadi guratan kecil dalam “Sauk
Seloko” bunga rampai puisi PPN VI ini.. wassalam.
Tabir Ulu, 12 Januari 2013
1 komentar:
ternyata kita punya pengalaman yang sama dengan tema hehehe
Salam takzim!
Posting Komentar