Jika kesukaan
saya pada puisi dipertanyakan, darimana ia bermula(i)? Tentu banyak hal yang
mempengaruhinya. Seingat saya, kegiatan menulis puisi yang saya jalani saat ini
tidak terlepas dari rekam jejak masa lalu, jejak puisi saya telah dimulai sejak
sedari Sekolah Dasar. Tentu masa itu puisi yang saya buat masih berupa syair pantun
yang sering saya nyanyikan bersama teman-teman saat bermain di aliran sungai
Tabir masa kanak-kanak dahulu, kadang juga syair pantun sering kami
senandungkan di saat jam istirahat di atas pohon-pohon yang kami panjat di
sekitar sekolah. Kebetulan sekolah saya dulu berada bersebelahan dengan
semak-semak dan pohon-pohon liar, jadilah di situ menjadi tempat kami biasa bermain
dan bersenandung.
Masa
kanak-kanak yang begitu dekat dengan pantun-pantun kemudian sedikit banyak ikut
mempengaruhi karya-karya puisi saya. Begitu pula halnya kedekatan saya pada
alam sekitar waktu itu, tentang pohon-pohon karet, sungai, orang-orang yang menanam
padi di tanah ladang, burung-burung, daun-daun dan tentang kebiasaan adat di
kampung saya seperti berseloko dan mendendangkan kesenian piyul. Kecirian
inilah yang saya pikir sangat melekat yang kemudian secara tidak sengaja terangkat
dalam setiap peroses penciptaan karya puisi-puisi saya hingga saat ini.
Selanjutnya,
ditunjuknya saya sebagai pengelola Majalah Dinding semasa SMA dulu merupakan
bagian dari proses perjalanan puisi saya yang lain. Waktu itu seringkali
puisi-puisi saya terpajang di majalah dinding tersebut. Yang saya ingat puisi-puisi saya pada masa itu
masih berkecenderungan mementingkan bunyi (rima). Hingga selanjutnya, penelusuran
saya pada rerimba puisi terus berlanjut hingga berada dibangku kuliah,
disitulah saya mulai mengenal beberapa nama seperti Dimas Arika Miharja, Asro
al Murthawy, Ary Setya Ardhi, Yupnical Saketi dan yang lain-lain, dan saat itu
pula lah saya mengenal media dalam publikasi puisi. Kegilaan saya pada puisi
semakin menjadi ketika memenangkan beberapa iven Lomba Cipta Puisi, yang
kemudian menuntun saya mulai berproses dalam penciptaan puisi-puisi bercita-rasa
melayu. Inilah puisi pertama bercorak melayu yang saya buat, terbit di Harian
lokal Jambi tahun 2003 dan tercantum dalam antologi “Menguak Senyap” 2012, dengan
judul “Batanghari”:
mengeja setiap lirikmu
lewat bibir-bibir rumah panggung
ada lagu duka yang terselip
di antara ribuan puisi yang kau aliri
itulah lagu yang sering kau dendangkan untukku
semenjak awalmula aku menancapkan
sisa umur di tanah pilih ini
hingga kita sama-sama menangis
Jambi, Mei 2003
Mungkin jika dirunut
lebih jauh, bakat puisi yang saya miliki menurun dari garis orangtua. Meski
tidak bekecimpung langsung, Orangtua saya dulu begitu dekat dengan dunia seloko
dan pantun. Selain sebagai tetua kampung, Bapak saya juga sebagai seorang
pemain gambus grup kesenian piyul di kampung saya-seperti diketahui musik piyul
adalah musik yang mengiringi lagu-lagu tradisi di pedalaman Jambi, di huluan
sungai Batanghari-yang pada umumnya syairnya berupa pantun berbalas. Kehidupan
yang begitu dekat dengan dunia seloko dan pantun inilah yang sangat berkesan
dan mendalam sehingga mempengaruhi gairah dan konstruksi puisi saya. Saya
seperti pemegang estafet tanggungjawab bagi warisan tradisi moyang saya
tersebut, tentu dengan format yang lain, yaitu puisi. Tema-tema alam dalam
puisi saya adalah bagian dari masa kecil yang sempat terekam oleh jejak waktu.
Punai Merindu
Inilah tokoh yang
coba saya bangunsebutkan dalam puisi-puisi saya di awal tahun ini. Punai
Merindu, adalah sejenis burung yang biasa hinggap di pucuk-pucuk pohon karet,
kadang kerap pula bertengger di ranting-ranting pohon durian di kampungku. Lantas,
mengapa mesti Punai? Punai tidak lebih dari pencirian melayu dalam puisi-puisi yang
saya buat. Ia bisa menjadi aku, dia, mereka, kekasih, dan bisa jadi punai itu
sendiri. Tidak ada makna tunggal pada penokohan “Punai Merindu” dalam puisi-puisiku.
Coba perhatikan beberapa puisi yang saya buat di rentang awal tahun ini, salah
satunya puisi berjudul “Lelaki Sungai” berikut yang disajikan secara utuh:
kuyup hujan kian
menyemak di awal januari
meluapkan kekisah
lelaki sungai di ujung tanjung
daun-daun melembab sepi
bertutur tentang punai yang kian
merindu
musim belum jua
berganti
lelaki sungai masih
saja menganyam rakit dari bilah-bilah bambu
entah, ke tepian mana
akan dipaut
Tabir Ulu, 02 Januari
2013
dan penggalan puisi berjudul “Generasi Lupa Hikayat” berikut
ini:
debur batanghari menggelegar, pecah diamuk
airmata
remuk serupa cecandi yang kita jenguk di
menapo tua siang itu
hikayat pun karam di lubuk paling dalam, di
sepanjang reriak jaman
lihatlah, pohonan liar yang dulu rimbun kini
meranting sepi
tanpa kekicau punai di ujung daun, tunaspun
layu di awal musim
meranggas bersama pepantun purba di ujung
senja
kemudian baca juga penggalan
puisi berjudul “Akulah Sang punai” di bawah ini:
di antara bebunga
januari, akulah sang punai
melesap diantara
kecupan angin yang menggigilkan gerimis
dan kau adalah
bebayang yang tersanggat di ujung kenang
menjejak di urat-urat nadi batanghari
Dari
beberapa contoh puisi di atas, penokohan punai tidaklah mempunyai makna
tunggal. Punai dalam puisi-puisi saya hanyalah sebagai cara saya untuk memperkenalkan
gaya berpuisi dengan corak dan konstruksi kemelayuan yang melatarbelakangi
jejak-jejak kehidupan dan persinggungan saya dengan kemelayuan itu sendiri.
Maka, akulah sang punai itu, mencoba terbang dengan sayap-sayap rindu, kadang
hinggap di ranting sepi, sambil meramu bait-bait puisi. Semoga puisi-puisi saya
ikut mewarnai khasanah perpuisian sejagat negeri. Wassalam*
Tabir Ulu, 09 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar