Penyair kubu,
itulah gelar yang melekat pada Asro al Murthawy semenjak menerbitkan antologi
tunggal berlabel “Lagu Bocah Kubu” pada rentang tahun 1990-an lalu. Kubu yang senantiasa
didengungsebutkan oleh Asro al Murthawy dalam karya-karyanya, tidaklah
berkonotasi negatif terhadap Suku Anak Dalam/ orang rimba yang ada di pedalaman
Jambi. Asro al Murthawy mencoba mengangkat lebih jauh dari itu, menguak nilai-nilai
kearifan lokal Kubu ke dalam puisi-puisinya. Hal ini tergambar pada beberapa
karyanya, salah satunya puisi yang berjudul “Lagu Bocah Kubu” berikut:
Tanah Garo belumlah lelap benar malam itu
masih ada yang mencangkung di atas batu
lugu tak berbaju
terus melagu
tanahku o tanahku
tak
ada hijau rumput lagi
hutanku o hutanku
tak
ada harum umbut lagi
burungku o burungku
tak
ada salam menyambut pagi
jiwaku o
jiwaku
siapa
hendak kusebut lagi?
Tanah Garo belumlah lelap benar nalam itu
Seorang bocak lugu tak berbaju terus melagu
Aku. Bocah Kubu
Tanah
garo, 1415 H
Dari
puisi nostalgik di atas, dapat dilihat bahwa penyebutan Kubu yang senantiasa
menjadi stigma negatif terhadap sebutan lain bagi Suku Anak Dalam, terbantahkan
oleh Asro al Murthawy. Penyair ini mencoba meluruskan pemaknaan “Kubu” yang
telah jauh menyimpang dari hakikatnya. Ia mencoba mengangkat nilai-nilai lebih
dari “Kubu” ini ke dalam karya-karya yang ia ciptareka. Bahkan dalam
puisi-puisinya yang lain, Asro al Murthawy menjelma jadi bocah kubu, larut
dalam diksi-diksi lokalitas kubu yang ia bangun. Tentu semua diksi yang ia gunakan
merupakan hasil perenungan dan pergulatan bathin atas kesehariannya yang berdampingan
dengan masyarakat Kubu (baca; Suku Anak Dalam) itu sendiri. Berikut penggalan puisi
berjudul “Mana Kuauku, Mak?” yang saya kutip:
“Mano kuauku, Mak?”
Maak! Beribu kuau mati diburu, beribu lirung
mati dikurung
Beribu jalak mati ditembak, beribu belibis
mati habis
“Mano napuhku, Mak?”
Maak! Beribu tampoi mati dibantai, beribu
cempedak mati dibajak
beribu embacang mati ditebang, beribu bidara
mati sengsara
Dalam puisi-puisi “Kubu”nya, Asro
al Murthawy senantiasa menyelipkan pesan-pesan dari pedalaman. Baginya berpuisi
bukanlah sekedar merangkai kata-kata, rima dan metafora. Puisi mestinya mempunyai
ruh dan pesan yang bisa disampaikan kepada penikmatnya. Hal ini tergambar pada
puisi berjudul “Kubuka Buku Luka Kubuku” berikut:
Kubuka bukubuku, kubuka
terbaca lukalukaku
terluka tubuhtubuhku terluka
menganga lukalukaku menganga
luka di tubuhku, lukaku
duka di bukubuku, dukaku
kubu di bukubuku, tubuhku
Buku Kubu, bukuku
Luka Kubu, lukaku
Duka Kubu, Dukaku
Sanggar
IMAJI Bangko, 1418 H
Mengenal puisi-puisi “Kubu” Asro
al Murthawy, kita akan di ajak larut dalam tema dan konstruksi puisi bernuansa
lokalitas pedalaman Jambi. Penyair telah berhasil membangun konstruksi puisi
yang syarat akan pesan-pesan dari pedalaman. “Kubu” yang selama ini merupakan
sebutan berkonotasi negatif terhadap Suku Anak Dalam, melalui karya puisi Asro
al Murthawy berhasil membantahnya. Dialah Penyair Kubu, yang senantiasa
menyanyikan lagu bocah Kubu dari pedalaman Jambi, Sumatera. Wassalam
19 Januari 2013